Monday, September 17, 2012

Mendiagnosa Nobel


Karena tadi malam tidak sholat tahajjud, Jabil berencana sholat subuh berjamaah, tentu untuk mencari ganjaran pengganti. Jabil belakangan ini semangat beribadah, bisa jadi karena dikirimi sarung putih 100% katun dari ibundanya tercinta. Jabil sadar bahwa sarung itu hasil kerja keras ibunya yang bekerja menjual daun pisang klutuk. Warna putih sarung menggambarkan keinginan ibunya agar Jabil jadi anak yang berbakti kepada Tuhannya dan orang tuanya. Sholatnya kali ini ingin di tempat lain, bukan di Mushola Al Iman melainkan Masjid At Taqwa.
Hanacaraka, Masjid At Taqwa itu adalah masjid pertama yang dibangun di kota. Dibangun dengan gotong-royong para penduduk dan ‘ulama yang amat dekat dengan masyarakat saat itu, Kiai Syarif. Tidak seperti masjid-masjid zaman ini yang dananya bersumber dari “meletakkan tangan di bawah”, haqqul yakin, semua dari masyarakat dan niatnya untuk sodaqoh jariyah. Selain itu, ada yang spesial di  halaman masjid, sebuah Pohon Kurma ! Sungguh aneh. Pohon itu bijinya diambil dari kurma saat Kiai Syarif berhaji. Sepertinya masalah habitat yang tidak tepat bukan halangan Allah men-kun fayakun-kan pohon itu tumbuh pesat dan berbuah lebat, layaknya di Arab saja.
Jabil tidak berangkat sendirian, ada Jadidi di sampingnya. Walaupun agak jauh dan mata belum terbuka sepenuhnya , masjid itu amat membuat Jabil rindu untuk kembali, imamnya pengertian, lama sholatnya sedang, tak cepat, tak juga lambat, suaranya merdu, fashohahnya mantap, makhrojnya sempurna, tak lupa,bau misknya menyebar radius 1 km, mirip Muammar, qori’ kondang itu.
Siang harinya, di kampus, Jabil membuka e-mail dan ada 1 surat yang tak biasa. Dari maillist langganannya. Potongan isi suratnya begini, “…sebagai pemuda penerus bangsa, apalagi notabene kita berwawasan sains yang tinggi, hendaklah kita berbakti kepada Negara, semua menurut bidang yang kita geluti, bagi yang berkuliah di bidang sains dan terapan , mari meneliti dan persembahkan medali Nobel untuk negeri !” Terngiang terus isi surat tadi, Jabil perlahan mengamini statement itu. Dan Jabil tahu akan membuat alat apa, dispenser tanpa galon ! seperti yang dikatakan Kang Jenang dulu, yang diceritakan oleh Jadidi saat ia bertanya tentang Ghozzah. Barangkali saja ia bisa menang nobel kemanusiaan, membantu orang-orang Ethiopia mendapat air bersih pikirnya. Nanti setelah sholat subuh besok, rencananya Jabil akan mampir ke rumah Kang Jenang, sang sumber ide.
Jalannya 68.400 detik lebih sedikit telah berlalu. Ternyata saat keluar dari Masjid Taqwa, Jabil dan Jadidi dihampiri Kang Jenang dari belakang, rupanya ia baru saja pulang dari Pare-pare, habis menguji tesis mahasiswa S2. Ia bukan dosen, tapi sering diajak temannya yang dosen untuk turut menguji tesis, ya karena memang Kang Jenang orangnya kritis.  “Kang, kami mampir ya ke rumah Kang Jenang”, kata Jabil. “Lho, mau apa Bil?”, Kang Jenang heran. Jabil tak menjawab, hanya prangas-pringis sendiri, Jadidi manut saja.
Di rumah, Kang Jenang diceritai Jabil apa yang dialaminya. Lalu, Jabil berkata -dengan mengambil pose Chairil Anwar - “Nobel Kang ! Beri aku restumu !” Jadidi santai saja, lebih fokus ke makanan di depannya.
“Indonesia akan bangga padamu, begitukah ?”
“Iya Kang.”
“Indonesia akan bisa berjalan tegak di hadapan negara lain tanpa menunduk seperti biasanya ha?”
“Benar sekali Kang.”
“TKI di luar negeri akan berjingkrak, tak malu lagi dengan KTP mereka ?”
“Otomatis !”
“Bodoh !”
“Lho, kenapa Kang ?” Tanya besar dalam hati Jabil.
“Kau taruh dimana akal sehatmu Bil ? Kau titipkan di penjual es dawetkah ?”
“Maksud Kang Jenang ?”
“Pasti dalam niat belajar kau ingin pintar ya ? Itulah kesalahan yang sering diperbuat orang. Kenapa niatmu bukan untuk menghilangkan kebodohan. Inilah hasilnya, kebodohanmu tetap ada walau dirimu bertambah pintar”, kata Kang Jenang. “Nobel, lupakan saja !”, lanjut Kang Jenang lagi. Jabil ingin berontak tapi tak bisa, ada  sesuatu yang menghalangiya.
“Tahu apa kau tentang Nobel ? Katanya, katanya, dan katanya, itulah yang kau tahu tentang Nobel.”
Yaa ayyuhalladziina aa manuu laa ta' kulurribaaa adh 'aa fammudhoo'afah , janganlah kamu memakan riba !”  Kang Jenang meminum wedang rondenya dan berkata lagi dengan nada halus, “Bil, hadiah nobel itu bersumber dari bunga bank tabungan Nobel -nama orang-, hadiah itu diberikan kepada orang-orang yang katanya berjasa di bidangnya, lagipula, ajang itu nantinya mendorongmu untuk sombong, gaya, pecicilan, walau niat awalmu mulia.”
“Dan rasanya kau sudah tahu kalau riba terkecil saja sama dengan menggauli ibu kandung sendiri, mau kau menabung dosa sebesar itu ?”
“Jadi ku ulangi, Indonesia akan bangga padamu, begitukah ?”
Diam.
“Indonesia akan bisa berjalan tegak di hadapan negara lain tanpa menunduk seperti biasanya ha?”
Diam.
“TKI di luar negeri akan berjingkrak, tak malu lagi dengan KTP mereka ?”
Diam sediam-diamnya.
“Jadi lebih baik kau ciptakan alat yang memang mudah dan bermanfaat bagi masyarakat, penghargan dari masyarakat tentunya lebih jujur dan apa adanya meski tak ada SK dari bupati. Bantu nelayan kecil, ciptakan dinamo berbahan bakar minyak ikan, besarkan nilai efisiensinya, nanti juga kau akan digelari insinyur oleh masyarakat meski kau tidak kuliah. Atau tetap ciptakan dispenser tanpa galon itu, meski Singapura sudah mendahuluimu...”
“...............”
“Jadi alhamdulillah juga ya orang Indonesia belum ada yang dapat nobel”, Jadidi yang dari tadi diam sekarang nyeletuk.
Gara-gara Jadidi, semua tertawa. “Ya Allah, jadikan kedua anak ini berbakti kepadaMu, kepada gurunya, dan kepada orang tuanya”, ucap Kang Jenang sambil mengusap kepala keduanya.
Dari jauh, ibu Jabil tiba-tiba merasa tentram, telinganya berdenging sesaat.


OBROLAN MII 1430 H

Diambil dari kumpulan karya Muhammad Anis Al-Hilmi

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons