Karena tadi malam tidak sholat tahajjud,
Jabil berencana sholat subuh berjamaah, tentu untuk mencari ganjaran pengganti.
Jabil belakangan ini semangat beribadah, bisa jadi karena dikirimi sarung putih
100% katun dari ibundanya tercinta. Jabil sadar bahwa sarung itu hasil kerja
keras ibunya yang bekerja menjual daun pisang klutuk. Warna putih sarung menggambarkan keinginan ibunya agar
Jabil jadi anak yang berbakti kepada Tuhannya dan orang tuanya. Sholatnya kali ini ingin di tempat
lain, bukan di Mushola Al Iman melainkan Masjid At Taqwa.
Hanacaraka, Masjid At Taqwa
itu adalah masjid pertama yang dibangun di kota. Dibangun dengan gotong-royong para
penduduk dan ‘ulama yang amat dekat dengan masyarakat saat itu, Kiai Syarif.
Tidak seperti masjid-masjid zaman ini yang dananya bersumber dari “meletakkan
tangan di bawah”, haqqul yakin, semua
dari masyarakat dan niatnya untuk sodaqoh jariyah. Selain itu, ada yang spesial
di halaman masjid, sebuah Pohon Kurma !
Sungguh aneh. Pohon itu bijinya diambil dari kurma saat Kiai Syarif berhaji.
Sepertinya masalah habitat yang tidak tepat bukan halangan Allah men-kun fayakun-kan pohon itu tumbuh pesat
dan berbuah lebat, layaknya di Arab saja.
Jabil tidak
berangkat sendirian, ada Jadidi di sampingnya. Walaupun agak jauh dan mata
belum terbuka sepenuhnya , masjid itu amat membuat Jabil rindu untuk kembali,
imamnya pengertian, lama sholatnya sedang, tak cepat, tak juga lambat, suaranya
merdu, fashohahnya mantap, makhrojnya sempurna, tak lupa,bau misknya menyebar
radius 1 km, mirip Muammar, qori’ kondang itu.
Siang harinya, di
kampus, Jabil membuka e-mail dan ada
1 surat yang
tak biasa. Dari maillist
langganannya. Potongan isi suratnya begini, “…sebagai pemuda penerus bangsa,
apalagi notabene kita berwawasan sains yang tinggi, hendaklah kita berbakti
kepada Negara, semua menurut bidang yang kita geluti, bagi yang berkuliah di
bidang sains dan terapan , mari meneliti dan persembahkan medali Nobel untuk
negeri !” Terngiang terus isi surat
tadi, Jabil perlahan mengamini statement
itu. Dan Jabil tahu akan membuat alat apa, dispenser tanpa galon ! seperti yang
dikatakan Kang Jenang dulu, yang diceritakan oleh Jadidi saat ia bertanya
tentang Ghozzah. Barangkali saja ia bisa menang nobel kemanusiaan, membantu
orang-orang Ethiopia
mendapat air bersih pikirnya. Nanti setelah sholat subuh besok, rencananya
Jabil akan mampir ke rumah Kang Jenang, sang sumber ide.
Jalannya 68.400
detik lebih sedikit telah berlalu. Ternyata saat keluar dari Masjid Taqwa,
Jabil dan Jadidi dihampiri Kang Jenang dari belakang, rupanya ia baru saja
pulang dari Pare-pare, habis menguji tesis mahasiswa S2. Ia bukan dosen, tapi
sering diajak temannya yang dosen untuk turut menguji tesis, ya karena memang
Kang Jenang orangnya kritis. “Kang, kami
mampir ya ke rumah Kang Jenang”, kata Jabil. “Lho, mau apa Bil?”, Kang Jenang heran. Jabil tak menjawab, hanya prangas-pringis sendiri, Jadidi manut saja.
Di rumah, Kang
Jenang diceritai Jabil apa yang dialaminya. Lalu, Jabil berkata -dengan
mengambil pose Chairil Anwar - “Nobel Kang ! Beri aku restumu !” Jadidi santai
saja, lebih fokus ke makanan di depannya.
“Indonesia akan
bangga padamu, begitukah ?”
“Iya Kang.”
“Indonesia akan
bisa berjalan tegak di hadapan negara lain tanpa menunduk seperti biasanya ha?”
“Benar sekali
Kang.”
“TKI di luar
negeri akan berjingkrak, tak malu lagi dengan KTP mereka ?”
“Otomatis !”
“Bodoh !”
“Lho, kenapa Kang
?” Tanya besar dalam hati Jabil.
“Kau taruh dimana
akal sehatmu Bil ? Kau titipkan di penjual es dawetkah ?”
“Maksud Kang
Jenang ?”
“Pasti dalam niat
belajar kau ingin pintar ya ? Itulah kesalahan yang sering diperbuat orang.
Kenapa niatmu bukan untuk menghilangkan kebodohan. Inilah hasilnya, kebodohanmu
tetap ada walau dirimu bertambah pintar”, kata Kang Jenang. “Nobel, lupakan
saja !”, lanjut Kang Jenang lagi. Jabil ingin berontak tapi tak bisa, ada sesuatu yang menghalangiya.
“Tahu apa kau
tentang Nobel ? Katanya, katanya, dan katanya, itulah yang kau tahu tentang
Nobel.”
“Yaa
ayyuhalladziina aa manuu laa ta' kulurribaaa adh 'aa fammudhoo'afah ,
janganlah kamu memakan riba !” Kang
Jenang meminum wedang rondenya dan berkata lagi dengan nada halus, “Bil,
hadiah nobel itu bersumber dari bunga bank tabungan Nobel -nama orang-, hadiah
itu diberikan kepada orang-orang yang katanya berjasa di bidangnya, lagipula,
ajang itu nantinya mendorongmu untuk sombong, gaya, pecicilan, walau
niat awalmu mulia.”
“Dan rasanya kau
sudah tahu kalau riba terkecil saja sama dengan menggauli ibu kandung sendiri,
mau kau menabung dosa sebesar itu ?”
“Jadi ku ulangi, Indonesia akan
bangga padamu, begitukah ?”
Diam.
“Indonesia akan
bisa berjalan tegak di hadapan negara lain tanpa menunduk seperti biasanya ha?”
Diam.
“TKI di luar
negeri akan berjingkrak, tak malu lagi dengan KTP mereka ?”
Diam sediam-diamnya.
“Jadi lebih baik
kau ciptakan alat yang memang mudah dan bermanfaat bagi masyarakat, penghargan
dari masyarakat tentunya lebih jujur dan apa adanya meski tak ada SK dari
bupati. Bantu nelayan kecil, ciptakan dinamo berbahan bakar minyak ikan, besarkan
nilai efisiensinya, nanti juga kau akan digelari insinyur oleh masyarakat meski
kau tidak kuliah. Atau tetap ciptakan dispenser tanpa galon itu, meski
Singapura sudah mendahuluimu...”
“...............”
“Jadi alhamdulillah
juga ya orang Indonesia
belum ada yang dapat nobel”, Jadidi yang dari tadi diam sekarang nyeletuk.
Gara-gara Jadidi,
semua tertawa. “Ya Allah, jadikan kedua anak ini berbakti kepadaMu, kepada
gurunya, dan kepada orang tuanya”, ucap Kang Jenang sambil mengusap kepala
keduanya.
Dari jauh, ibu
Jabil tiba-tiba merasa tentram, telinganya berdenging sesaat.
OBROLAN MII 1430 H
Diambil dari
kumpulan karya Muhammad Anis Al-Hilmi