Monday, April 30, 2012

Tausyiah On Your Screen

Dari Abu Said Al Khudri dan Abu. Khurairah r.a
"Rasul SAW bersabda : Tidaklah seorang muslim ditimpa lelah, sakit, kegundahan, kesusahan, godaan dan kesediahan sampai duri yang mengenai kakinya kecuali Allah akan mengampuni dosanya"

Kita ingat, seringkali kita mengeluh terhadap masalah yang kita terima. Padahal, bosa jadi itu cara Allah menghapus dosa kita. Pernah seorang sahabat mengucap syukur saat anaknya jatuh dan patah tulang hingga menyebabkan sahabat yang lain bingung. Tak disangka, beberapa hari datang utusan untuk memanggil wajib militer, dan anaknya tidak dipanggil karena sakit.

... Jadi, yakinlah Rencana Allah itu luar biasa. Yuk kita sama-sama mengubah pola pikir kita jadi lebih positif, karena Allah itu sesuai dengan yang dipikirkan makhluknya.
Mumpung masih awal hari.

Sumber : TOYS GAMAIS 30 April 2012

Friday, April 13, 2012

Pantaskah Anda Masuk Surga?



“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Albaqarah: 214

Ayat di atas benar – benar membuat saya tercengang. Bagaimana tidak. Saya ingin masuk surga, tapi ngga’ mau susah payah. Mana ada?
Ayat di atas menekankan bahwa jika surga yang kita inginkan, maka pasti ada badai cobaan yang menghadang. Contohnya menutup aurat.

“Aduh, panas… males ah pake krudung.”

“ Ah, kenapa harus pake kaos kaki? Kan ngga’ lucu.”

“ Yah, kok ribet amat sih! Mesti pake baju yang panjang dan longgar?”

Jika kita masih ngeluhin hal – hal cem itu, ayat di atas bener – bener harus direnungkan. Iya sih, memang susah banget tuh, melaksanakan perintah Allah dengan baik dan benar. Tapi, balesannya kan ngga’ main – main. Surga gitu... Toh, apapun yang Allah perintahkan itu pasti udah disesuaikan dengan batas kemampuan kita kok. Sok, liat QS Albaqarah ayat 286 berikut:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

Jadi, ngga’ ada alesan lagi buat berkelit. Ngga’ ada lagi yang namanya pembenaran. Semua udah jelas.

Kembali lagi ke QS Albaqarah ayat 214. Kalo kita hayati, di ayat tersebut, Allah menetapkan standar masuk surga itu orang – orang terdahulu. Memang siapa mereka? Apa hebatnya?

Eits! Jangan salah… mereka itu orang – orang wow loh! Keren banggets lah! Tengoklah Bilal. Beliau adalah seorang budak yang terompahnya sampai terdengar di surga gara – gara selalu menjaga wudhunya. Atau, lihatlah Mus’aib bin Umair. Mantan perjaka perlente yang rela meninggalkan kenikmatan hidupnya demi islam. Bahkan saat ia meninggal, kain kafannya tak cukup untuk membungkus badannya.

Masih kurang? Pandanglah Abu Bakar, beliau rela menginfakkan seluruh hartanya untuk agamanya. Nah kita? Apa yang sudah kita perbuat? Apa yang bisa kita banggakan di depan Allah agar pantas masuk surga?

Jadi, jangan ngaku beriman, jika ngga’ mau cobaan. Jangan berharap masuk surga jika ngga' mau susah payah. Cobaan itu mutlak, teman.  Allah sendiri telah berfirman di QS Al Ankabut ayat 2,

 ” Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”

So, yuk, kita berbenah diri. Tunjukkan bahwa kita pantas masuk surga.

Taubatnya Sang Deadliner



Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ucapan terakhirnya (sebelum meninggal dunia) kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah) maka dia akan masuk surga"

Apa yang ada dalam pikiran Anda setelah membaca hadist di atas? saya yakin, sebagian dari kita beranggapan asal sesaat sebelum meninggal baca kalimat itu, pasti akan masuk surga. 

Hmmm.... semudah itukah? lalu bagaimana dengan orang yang dahulunya sangat ingkar trus pas mau meninggal dia berhasil mengucapkannya? masuk surgakah? wah, enak banget dong kalo masuk surga. kalo gitu mah mending sekarang berbuat suka - suka dulu, trus entar kalo udah mau meninggal, baru taubat deh.

Bagaimana dengan orang yang ketika hidup bisa menjadi orang yang saleh namun ketika meninggal tidak beruntung, sehingga tidak sempat mengucapkannya?
Nah.. mari kita lihat QS Annisa ayat 18 berikut:

"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang." Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. "

atau, baca surat QS yunus ayat 90-91
 "Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan."

Jadi, taubat itu g bisa di akhir hayat, istilah kerennya mah deadline. jangan sampai kita termasuk ke dalam deadliner dalam bertaubat ya.. aamiin

Sabar, Salat, dan Khusyuk


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', “ QS Al Baqarah(2):45


Sering banget ya, kita baca atau dengar ayat ini. Tapi, pernahkah Anda memikirkan, sabar dan salat yang bagaimana yang bisa menolong? Apa itu khusyuk?
Simak QS Al Imran ayat 146 berikut
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”

Jadi, apa itu sabar? Sabar adalah tidak lemah, tidak lesu, dan tidak menyerah. Kontradiksi dengan pemahaman sebagian besar orang saat ini.  Mereka mengartikan sabar dengan sikap menerima dan  pasrah.
Lalu, salat yang bagaimana yang bisa menyelamatkan kita? Wah, kalo yang ini terlalu berat teman, belum saatnya saya membahas itu. Hehehe...
Langsung meluncur ke khusyuk aja deh. Apa itu khusyuk? Apakah Anda akan menjawab tenang, ngga grusah grusuh? Lalu apa bedanya dengan tuma’ninah?
Coba lihat ayat berikut:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. QS Al Baqarah(2):45-46
Jadi khusyuk itu, yakin bahwa akan menemui Tuhannya, dan akan kembali kepadaNya.
Semoga kita bisa mejadi orang – orang yang khusyuk dan sabar. Aamiin


Wednesday, April 11, 2012

Jalan Juang Tertinggi...

Jihad! Mendengar kata tersebut, tentunya kita akan memiliki interpretasi yang berbeda-beda, baik yang bermakna positif maupun negatif. Jihad berasal dari kata “jahada”  yang memiliki arti “bersungguh-sungguh”. Dalam islam, jihad dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu jihad besar dan  jihad kecil. Jihad besar merupakan jihad terhadap hawa nafsu pribadi, sedangkan jihad kecil merupakan jihad terhadap orang-orang kafir dan dzalim.
Dalam Islam, jihad merupakan hal yang sangat mulia. Jihad tidak dikatakan jihad yang sebenarnya melainkan apabila jihad itu ditujukan untuk menegakkan kalimat-Nya, mengibarkan panji kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk mencari keridhaan Allah. Akan tetapi bila seseorang berjihad untuk mencari dunia, maka tidak dikatakan jihad yang sebenarnya. Jihad yang seperti itu ialah jihad fisabilillah, yakni perjuangan yang bernar-benar kerana Allah SWT dan untuk Allah SWT semata. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At Taubah : 41
artinya : “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Kemuliaan jihad ini tersirat dalam sebuah lirik lagu nasyid berjudul “Bingkai Kehidupan”,
. . .
ﷲﺍ adalah tujuan kami,
Rasulullah teladan kami
Alqur?an pedoman hidup kami,
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan ﷲﺍ adalah,
Cita-cita kami tertinggi
. . .
Ya, demikianlah jihad dimaknai sebagai suatu jalan juang untuk memperoleh syahid (mati di jalan Allah), maka jihad pun menjadi cita-cita tertinggi dalam hidup ini. Sudahkah kita memaknai jihad seperti itu?
Untuk mencapai pemaknaan jihad seperti lirik lagu tersebut, kita harus tau tujuannya terlebih dahulu. Tujuan utama dari berjihad di antaranya ialah untuk (1) menegakkan kalimatullah (kalimat Allah), (2) menolong orang-orang yang teraniaya, (3) menghadapi musuh-musuh, menjaga, dan menegakkan dinnul Islam.

Ta'lim 2

Assalamualaikum

Sebagai insan pendidikan, kehidupan kita dekat sekali dengan sains, juga banyak menggunakan akal dan logika, terutama kita yang menjalani kuliah di jurusan matematika.

Timbul pertanyaan, bagaimana sebenya kaitan antara Al-Quran dengan akal dan sains.
Temukan jawabannya di Ta'lim 2, bertempat di study hall pukul 16.30 sampai magrib bersama Bapak Ka Prodi Matematika, Agus Yodi Gunawan.

Jazakallah

Friday, April 6, 2012

Kemuliaan Abu Bakr Ash Shiddiq

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab Fadha’il ash-Shahabah [Fath al-Bari Juz 7 hal. 15] dengan judul ‘Bab; Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tutuplah pintu-pintu -di dinding masjid- kecuali pintu Abu Bakar.” Di dalamnya beliau menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak penuturan Imam Bukhari tersebut.

Imam Bukhari berkata:
Abdullah bin Muhammad menuturkan kepada kami. [Dia berkata]: Abu ‘Amir menuturkan kepada kami. Dia berkata: Fulaih menuturkan kepada kami. Dia berkata: Salim Abu Nazhar menuturkan kepadaku dari Busr bin Sa’id dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang-orang (para sahabat). Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran kepada seorang hamba; antara dunia dengan apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Beliau -Abu Sa’id- berkata: “Abu Bakar pun menangis. Kami merasa heran karena tangisannya. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan ada seorang hamba yang diberikan tawaran. Ternyata yang dimaksud hamba yang diberikan tawaran itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang, Abu Bakar adalah orang yang paling berilmu di antara kami.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berjasa kepadaku dengan ikatan persahabatan dan dukungan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengangkat seorang Khalil -kekasih terdekat- selain Rabb-ku niscaya akan aku jadikan Abu Bakar sebagai Khalil-ku. Namun, cukuplah -antara aku dengan Abu Bakar- ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam. Dan tidak boleh ada satu pun pintu yang tersisa di [dinding] masjid ini kecuali pintu Abu Bakar.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, di Kitab Fadha’il ash-Shahabah (lihat Syarh Nawawi Juz 8 hal. 7-8)

Berikut ini pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas. Kami sarikan dari keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi. Semoga bermanfaat.
  1. Hadits ini mengandung keistimewaan yang sangat jelas pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu yang tidak ditandingi oleh siapapun -di antara para sahabat-. Hal itu disebabkan beliau berhak mendapat predikat Khalil -kekasih terdekat- bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalaulah bukan karena faktor penghalang yang disebutkan oleh Nabi di atas (lihat Fath al-Bari [7/17 dan 19])
  2. Abu Bakar radhiyallahu’anhu mengetahui bahwa seorang hamba yang diberikan tawaran tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu beliau pun menangis karena sedih akan berpisah dengannya, terputusnya wahyu, dan akibat lain yang akan muncul setelahnya (lihat Syarh Nawawi [8/7])
  3. Hadits ini menunjukkan bahwa semestinya masjid dijaga agar tidak menjadi seperti jalan tempat berlalu-lalangnya manusia kecuali dalam kondisi darurat yang sangat penting (lihat Fath al-Bari [7/19])
  4. Para ulama itu memiliki pemahaman yang bertingkat-tingkat. Setiap orang yang lebih tinggi pemahamannya maka ia layak untuk disebut sebagai a’lam (orang yang lebih tahu) (lihat Fath al-Bari [7/19])
  5. Hadits ini mengandung motivasi untuk lebih memilih pahala akhirat daripada perkara-perkara dunia (lihat Fath al-Bari [7/19])
  6. Hendaknya seorang berterima kasih kepada orang lain yang telah berbuat baik kepadanya dan menyebutkan keutamaannya (lihat Fath al-Bari [7/19])


Saudaraku… Kita bisa melihat bersama bagaimana zuhudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dunia. Kecintaan kepada akhirat dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah jauh lebih beliau utamakan daripada kesenangan dunia.

Kita juga bisa melihat bersama bagaimana kedalaman ilmu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ilmu itupun terserap dengan cepat ke dalam hatinya dan membuat air matanya meleleh. Beliau sangat menyadari bahwa kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah para sahabat laksana lentera yang menerangi perjalanan hidup mereka. Nikmat hidayah yang dicurahkan kepada mereka melalui bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di atas segala-galanya.

Kita pun bisa menarik kesimpulan bahwa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan dengan bantuan dan dukungan para sahabatnya. Beliau -dengan kedudukan beliau yang sangat agung- tidaklah berdakwah sendirian. Terbukti pengakuan beliau terhadap jasa-jasa Abu Bakar yang sangat besar kepadanya. Tentu saja yang beliau maksud bukan semata-mata bantuan Abu Bakar untuk kepentingan pribadi beliau, akan tetapi demi kemaslahatan umat yang itu tak lain adalah dalam rangka dakwah dan berjihad di jalan Allah.

Hadits ini juga menunjukkan betapa agungnya kedudukan Abu Bakar di mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melebihi sahabat-sahabat yang lain. Sehingga sangat keliru pemahaman sekte Syi’ah yang menjelek-jelekkan bahkan sampai mengkafirkan beliau.

Hadits ini pun menggambarkan keluhuran akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya. Bagaimana beliau dengan tanpa malu-malu mengakui keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Padahal, kedudukan Abu Bakar tentu saja berada di bawah kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian, beliau menyebutkan jasanya dan menyanjungnya di hadapan para sahabat yang lain.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa memuji orang di hadapannya diperbolehkan selama orang tersebut tidak dikhawatirkan ujub karenanya. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan Abu Bakar dari sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memujinya di hadapannya dan di hadapan para sahabat yang lain. Hal itu mengisyaratkan kepada kita bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk kategori orang yang dikhawatirkan merasa ujub setelah mendengar pujian tersebut.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa kecintaan yang terpendam di dalam hati pasti akan membuahkan pengaruh pada gerak-gerik fisik manusia. Kecintaan yang sangat dalam pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar pun tampak dari ucapan dan perbuatan beliau. Kalau kita mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka konsekuensinya kita pun mencintai orang yang beliau cintai. Dan di antara orang yang beliau cintai, bahkan yang paling beliau cintai adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Kecintaan yang berlandaskan Islam dan persaudaraan seagama. Lantas ajaran apakah yang justru mengajarkan kita untuk membenci orang-orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau bukan ajaran kesesatan?!

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Keutamaan Berwudhu



Islam adalah agama yang memiliki syariat yang indah. Faedah dan pahala melaksanakan syariat Allah akan kembali pada umatnya. Di antara syariat Islam yang indah itu adalah wudhu. Wudhu disyariatkan ketika seseorang akan melaksanakan shalat, thawaf di Baitullah dan menyentuh mushaf serta ibadah lainnya.

Di dalam wudhu terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir dan batin. Sebab asal kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna kebersihan dan keindahan ( الحسن والنظافة ) sebagaimana yang dijelaskan para ahli bahasa Arab. [Lihat An-Nihayah (5/428), dan Ash-Shihhah (2/282)]

Syari’at Kesucian ini mengumpulkan banyak hikmah, faedah, dan fadhilah (keutamaan) yang menjelaskan urgensi dan kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebab suatu amalan jika memiliki banyak faedah dan fadhilah, maka tentunya karena memiliki makanah aliyah (kedudukan tinggi).

Wudhu’ disyari’atkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyari’atkan dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam kondisi bersuci (wudhu’) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat musim hujan dan musim dingin).

Kebiasaan berwudhu’ ini butuh kepada kesabaran tinggi, sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang –Insya Allah- saat kita mengetahui keutamaan wudhu’.
Diantara keutamaan-keutamaan wudhu’ yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah shohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

Syarat Memasuki Sholat
Seorang ketika hendak memasuki sebuah rumah atau gedung, maka ia akan melewati pintu-pintu yang ada padanya. Pintu ini biasanya tak bisa dilewati, kecuali seseorang memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu itu. Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah tersebut, maka ada syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah perumpamaan wudhu’ bagi sholat; seorang tak mungkin akan masuk dalam sebuah sholat, kecuali ia memenuhi syarat-syarat sholat, seperti wudhu’.
Oleh karena itu, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki". (QS. Al-Maa’idah: 6)

Jadi, jika seseorang hendak sholat, maka syaratnya harus berwudhu’ sebagaimana yang dijelaskan
oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam ayat ini dan diterangkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sunnahnya.

Bila seorang yang masuk dalam sholat, tanpa wudhu’, maka sholatnya tak akan diterima, bahkan tak sah, sebab wudhu’ adalah syarat sahnya wudhu’, dan tercapainya pahala sholat. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

"Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’" . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan beberapa faedah dari hadits ini, "Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya sholat disebabkan oleh hadats (seperti, kentut, buang air, junub dan lainnya), baik hadats itu keluar karena pilihan (sadar), maupun terpaksa". [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/309), tahqiq Ali Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]

Penghapus Dosa Kecil & Pengangkat Derajat
Wudhu adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya ajaib dan luar biasa. Selain menghapuskan dosa kecil, wudhu’ juga mengangkat derajat dan kedudukan seseorang dalam surga. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

"Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu (amalan) yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat derajat-derajat?" Mereka berkata, "Mau, wahai Rasulullah!!" Beliau bersabda, "(Amalan itu) adalah menyempurnakan wudhu’ di waktu yang tak menyenangkan, banyaknya langkah menuju masjid, dan menunggu sholat setelah menunaikan sholat. Itulah pos penjagaan". [HR. Muslim (586)]

Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan amalan-amalan yang terdapat dalam hadits ini, "Amalan-amalan ini akan menutup pintu-pintu setan dari dirinya, menahan jiwanya dari nafsu syahwatnya, permusuhan jiwa, dan setan sebagaimana hal ini tak lagi samar. Inilah jihad akbar (besar) yang terdapat pada dirinya. Jadi, setan adalah musuh yang paling berat baginya". [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa'iy (1/114)]

Jadi, seorang yang melazimi amalan-amalan tersebut dianggap telah melakukan pertahanan untuk menutup pintu-pintu setan. Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari setan, maka hendaknya ia melazimi wudhu’, menghadiri sholat jama’ah, dan bersabar menunggu sholat jama’ah lainnya.

Tanda Pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau akan mengenali ummatnya di Padang Mahsyar dengan adanya cahaya pada anggota tubuh mereka, karena pengaruh wudhu’ mereka ketika di dunia.

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ
"Perhiasan (cahaya) seorang mukmin akan mencapai tempat yang dicapai oleh wudhu’nya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Tablugh Al-Hilyah haits Yablugh Al-Wudhu' (585)]

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi pekuburan seraya bersabda, "Semoga keselamatan bagi kalian wahai rumah kaum mukminin. Aku sangat ingin melihat saudara-saudara kami". Mereka (para sahabat) berkata, "Bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kalian adalah para sahabatku. Sedang saudara kami adalah orang-orang yang belum datang berikutnya". Mereka berkata, "Bagaimana anda mengenal orang-orang yang belum datang berikutnya dari kalangan umatmu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Bagaimana pandanganmu jika seseorang memiliki seekor kuda yang putih wajah, dan kakinya diantara kuda yang hitam pekat. Bukankah ia bisa mengenal kudanya". Mereka berkata, "Betul, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka (umat beliau) akan datang dalam keadaan putih wajah dan kakinya karena wudhu’. Sedang aku akan mendahului mereka menuju telaga. Ingatlah, sungguh akan terusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana onta tersesat terusir. Aku memanggil mereka, "Ingat, kemarilah!!" Lalu dikatakan (kepadaku), "Sesungguhnya mereka melakukan perubahan setelahmu". Lalu aku katakan, "Semoga Allah menjauhkan mereka". [HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Istihbab Itholah Al-Ghurroh (583)]

Seorang muslim akan dikenali oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan cahaya pada wajah dan tangannya. Maka hendaknya setiap orang diantara kita menjaga cahaya ini dengan menjaga wudhu, dan sholat. Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang lebih banyak sujudnya atau wudhu’nya di dunia, maka wajahnya nanti akan lebih bercahaya dan lebih berseri dibandingkan selain dirinya. Maka mereka (kaum mukminin) nanti disana akan bertingkat-tingkat sesuai besarnya cahaya". [Lihat Faidhul Qodir (2/232)]

Separuh Iman
Seorang tak akan meraih pahala sholat, selain ia melakukan wudhu’, lalu mengerjakan sholat. Jadi, wudhu’ ibaratnya separuh dari iman (yakni, sholat). Ini menunjukkan kepada kita tentang ketinggian nilai dan manzilah wudhu’ di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

"Bersuci (wudhu’) adalah separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan). Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya. Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Al-Qur’an adalah hujjah (pembela) bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Fadhl Ath-Thoharoh (533)]

Al-Hafizh Ibnu Rojab -rahimahullah- berkata, "Jika wudhu’ bersama dua kalimat syahadat mengharuskan terbukanya pintu surga, maka wudhu menjadi separuh iman kepada Allah dan Rasul-Nya menurut tinjauan ini. Juga wudhu’ termasuk cabang-cabang keimanan yang tersembunyi yang tak akan dilazimi, kecuali seorang mukmin". [Lihat Iqozhul Himam (hal. 329)]

Jalan Menuju Surga
Jalan-jalan surga telah dimudahkan oleh Allah -Azza wa Jalla- bagi orang yang Allah berikan taufiq dan hidayah. Perhatikan Bilal bin Robah -radhiyallahu anhu-, beliau mendapatkan kabar gembira bahwa ia termasuk penduduk surga, sebab ia telah berusaha menapaki sebuah jalan diantara jalan-jalan surga. Dengarkan kisahnya dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Bilal ketika sholat Fajar, "Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan yang pernah engkau amalkan dalam Islam, karena sungguh aku telah mendengarkan detak kedua sandalmu di depanku dalam surga". Bila berkata, "Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling aku harapkan di sisiku. Cuma saya tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku sholat bersama wudhu’ itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jum'ah, Bab: Fadhl Ath-Thoharoh fil Lail wan Nahar (1149), dan Muslim (6274)]

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berwudhu’ lalu sholat sunnah setelahnya merupakan amalan yang berpahala besar. Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk melakukan sholat usai berwudhu’ agar wudhu tidak kosong (terlepas) dari maksudnya". [Lihat Fathul Bari (4/45)]

Pelepas Ikatan Setan
Setan senantiasa mengintai dan mengawasi kita. Bahkan ia selalu mencari jalan untuk menjauhkan kita dari kebaikan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Diantara makar setan, ia membuat buhul pada seorang diantara kita saat kita tidur agar kita berat bangun beribadah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

"Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), "Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah". Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan. Jika ia berwudhu’, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas". [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269) dan Muslim (1816)]

Al-Qodhi Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Bajiy -rahimahullah- berkata, "Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memaksudkan dengan hadits ini bahwa dengan dzikrullah, wudhu’, dan sholat, maka semua ikatan (buhul) setan akan terlepas, dan seorang muslim akan selamat dari makar setan, dan keburukan buhul-buhulnya. Lantaran itu, ia akan bersemangat di waktu pagi, (sedang ia telah terlepas darinya buhul-buhul yang telah membuat dirinya malas), dan jiwanya menjadi baik dengan sebab amalan kebajikan yang ia lakukan semalam". [Lihat Al-Muntaqo (1/434) karya Al-Bajiy]

Para pembaca budiman, inilah beberapa buah petikan fadhilah dan keutamaan wudhu. Semoga menjadi pendorong bagi kita semua untuk melazimi wudhu’ demi meraih keutamaann-keutamaan tersebut di atas. Kami memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita sebagai ummat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang dikenali dengan cahaya wudhu’.


source: buletin dakwah An-Nur dan Buletin Jumat At-Tauhid

Wednesday, April 4, 2012

Filosofi Logo KM3 ITB


FILOSOFI LOGO KM3 ITB



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons