Pengertian Ikhlas
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam telah
bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi
dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat,
ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang
berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al
‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf
melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap
pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat
dan menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah,
membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang
ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam
rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya
manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu
‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas
ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas
ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya
dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi
suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda
yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk
diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau
karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai
pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda,
ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan
tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah,
tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori
keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat
karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah
mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita
bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang
keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan
perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan
tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan
lainnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat,
arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah
yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat
kemuliaanNya.
SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas
bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang
telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan
beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang
dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku
mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia
senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan
kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara
dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya.
[HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At
Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul
Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].
Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]
Muththarif
bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal,
dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah
ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu
manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian
dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat
di shaf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat
shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para
jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa
sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf
pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang
lain. [6]
Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling
sulit di dunia adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk
menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna
lain.” [7]
Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan
keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada
lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu
dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan
selamat.
Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga
sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan
sedikit sekali orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang
mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang
yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada
nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak,
perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan
oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ
مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا
وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah bagi
mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan
jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat …
[Az Zumar : 47-48]
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ
أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:”Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda melihat
seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam
secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti
itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda
mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara
berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat
mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.
Ada
lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin
dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik
dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah,
sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang belajar karena ingin
lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan harta.
Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang
bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal
‘Afiyah. [9]
Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun
yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi
dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu
memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan
hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk
pamer dan lainnya.
Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati
manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan
memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan
hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita
diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang
artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[Al A’raf : 200].
Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan
pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia,
mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.
Dan
bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang
melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin
selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya
mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal
dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta
berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan
nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.
HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang
beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi
tiga golongan.
Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub
kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari
orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk syirik,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah
berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku
tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu
dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim,
no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua :
Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin
menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk
taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan
mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan. [Hud : 15-16].
Perbedaan antara golongan kedua
dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat
sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak
bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia
tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.
Ketiga :
Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah
sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•-
Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah,
tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua
ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak
adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna.
Tetapi hal itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang
jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].
Namun,
apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak
memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di
dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia
menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling
tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah
nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan
di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika
mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka
tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At
Taubah : 58].
Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang
itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di
dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907),
dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa
hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena
seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai
dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam
takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan lainnya
beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama.
Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut
tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan
sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya
merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang berasal
dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah
urusan dunia belaka.
Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk
mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak
tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”
Jawaban kami: “Neracanya
ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja,
berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih
besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat
pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang
urusannya amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat
shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan
niatnya.
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu
perjuangan yang paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk
ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan
dibereskan seluruh amal” [12].
IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di
dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku
ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas
kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang
kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok
dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya
amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak
akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan
ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan
KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya
tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan
tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan
amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb-
nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan
agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar
orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena
Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu
Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan
amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah, ia
berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang
yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan
apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak
mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas
dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR
Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri
dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus
Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr.
Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H;
Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan,
Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid. (I/71).
[5]. Madarijus Salikin (II/95).
[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus Salikin (II/96).
[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9].
Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib
(I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala,
hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun
yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan
menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11].
Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no.
2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100,
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin
Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th.
1413 H.
[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th.
1405 H.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam