Showing posts with label Tafsir Al Quran. Show all posts
Showing posts with label Tafsir Al Quran. Show all posts

Sunday, June 17, 2012

Tafsir Al-’Alaq (1): Menerka Tali Kematian



(Gambar dari: musyafucino.wordpress.com)
“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. Yaitu ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka” (QS. Al Alaq : 15-16)
Nasiyah dalam Qur’an sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan padanan “ubun-ubun”. Ubun-ubun sering diasosiasikan sebagai bagian depan kepala manusia. Namun, apakah benar nasiyah yang dimaksud adalah ubun-ubun yang selama ini kita kenal? Beberapa fenomena menunjukkan, manusia yang ubun-ubunnya penyok akibat kecelakaan masih tetap bertahan hidup sampai sekarang. Atau, jika kita melukai ubun-ubun singa, yang ada hanya tergoreslah kepalanya. Singa masih mampu bertahan hidup.
Kerancuan mengenai terjemahan nasiyah ini menjadi bahasan Diskusi Tafsir Ilmiah pada Jumat lalu. Dr. Sony Heru Sumarsono dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) ITB menjadi pembahas utama untuk memaknai nasiyah dalam sudut pandang Biologi. Turut hadir pula Ustadz Aceng dari Divisi Pelayanan Dakwah (DPD) Salman ITB sebagai peninjau dari segi bahasa.
Dari segi bahasa, Ustadz Aceng menekankan pentingnya mengkaji makna haraf (kata depan) yang mengawali sebuah kata.  Kemudian, Aceng menjelaskan kata “ba” sebagai kata depan yang mendahului kata nasiyah (“bin nasiyah”) mengisyaratkan makna nasiyah sebagai pusat kesadaran manusia.
Makna yang bisa mendukung bahwa nasiyah ini mempunyai pusat kesadaran ialah musohabah yang artinya disertai. Dari makna ini, dapat disimpulkan bahwa apabila anggota badan manusia berbuat dosa, maka jidat ikut disiksa. Kemudian, apabila mkana ba diberi arti ta’wid, yaitu pengganti, maka makna ini mengisyaratkan apabila ketika nggota tubuh berbuat dosa, maka yang akan menerima siksaannya adalah jidat. Jadi, jidat bertanggung jawab terhadap perbuatan dosa yang diperbuat anggota badan lainnya. Berdasarkan makna di atas, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa nasiyah itulah yang menjadi pusat perintah dari semua organ tubuh.
Kepala Merupakan Tali Kematian?
Dalam slide presentasinya, Sony Heru memaparkan ayat-ayat dalam tiga surat mengenai ubun-ubun. Di antaranya adalah Surat Al-‘Alaq (96):  15-16 (Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka), Surat Ar-Rahmaan (55): 41 (Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandannya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka), dan Surat Hud (11): 56 (Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun, melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus ).
Apabila merujuk pada Surat Al-‘Alaq dan Surat Ar-Rahman, Allah menarik serta memegang ubun-ubun orang-orang yang durhaka dan berdosa. Namun, jika merujuk pada Surat Hud, dijelaskan tidak ada suatu binatang melata pun, melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Mengacu pada footnote Qur’an terjemahan miliknya, Sony menganggap binatang melata adalah segenap makhluk Allah yang bernyawa. Jadi, Allah memegang ubun-ubun semua makhluk bernyawa, tak terkecuali yang manusia yang beriman atau pun durhaka.
Jika mendengar term ubun-ubun, kebanyakan orang Indonesia biasanya membayangkan sebuah area di atas permukaan kepala bagian depan. Dalam istilah biologi, area tersebut dinamakan fontanel anterior. Pada saat bayi lahir, tulang tengkorak—termasuk fontanel anterior saling tumpang tindih dengan tulang-tulang tengkorak lain sehingga ukuran kepalanya kecil. Namun, jika telah dewasa, tulang-tulang tersebut saling merenggangkan diri sehingga ukuran kepala pun besar. Ubun-ubun orang dewasa merujuk pada pengertian ubun-ubun pada saat bayi.
Terdapat kecenderungan, manusia menganggap bahwa ubun-ubun adalah kelemahan dari tubuh kita. Oleh karena itu, manusia menganggap kepala harus dilindungi, baik dengan memakai pengikat kepala yang sederhana, blangkon, maupun helm. Jadi, jika kepala kita dipotong, ditembak,  atau digantung, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mati.
Pertanyaannya, apakah orang yang ubun-ubun di kepalanya penyok karena kecelakaan masih bisa hidup? Steven Cloak dari Inggris, walaupun kepala bagian depannya penyok rupanya masih tetap dapat hidup. Cloak, terluka setelah dia dipukul oleh temannya yang mabuk bir. Kepala Cloak pun mengalami luka serius dan harus mendapat banyak jahitan. Dokter bedah harus bekerja kerjas untuk menyusun keping demi keping tulang tengkorak Cloak. Cloak sembuh. Namun jidatnya membentuk lubang besar. Ajaibnya, Cloak masih tetap hidup. Allah SWT masih belum mencabut “ubun-ubunnya”.
Kematian Bisa Datang dari Sebab Apapun
Kemudian, Sony mencontohkan singa yang memiliki surai yang melingkari kepalanya. Bukan tanpa alasan Allah menciptakan surai tersebut di area yang spesifik pada singa. Pada bagian leher, surai bulu tumbuh dengan lebat. Hal ini dikarenakan karena leher merupakan bagian vital dari  tubuh singa yang bisa menyebabkan kematian jika terluka. Jika singa bertarung, lawannya sulit menggigit leher karena terhalang surai lebat yang tumbuh di sekitar lehernya. Namun, apabila bagian kepala sang singa diserang, ia hanya akan mengalami luka-luka.
Rupanya, terdapat kelemahan makhluk hidup yang lain selain kepala. Urat leher. Pembuluh darah pada leher berfungsi  untuk mensuplai darah ke otak. Jika leher kita terluka, proses penyaluran darah ke otak akan terhambat. Nutrisi bagi otak pun tidak ada.
Sony berpendapat, jika “ubun-ubun” mengarah pada hubungan makhluk hidup dengan Allah, tampaknya “ubun-ubun” bermakna “tali kematian”. Lokasinya tidak pasti. Menurut Sony mungkin saja “ubun-ubun” sebagai tali kematian itu memang letaknya berada di kepala. Namun, kurang tepat jika letaknya berada di depan kepala seperti yang selama ini sudah banyak diamini. Sony meyakini jika medulla oblongata merupakan bagian otak paling mungkin untuk dikatai sebagai “tali kematian”. Medulla oblongata ialah salah satu bagian dari batang otak yang merupakan titik awal saraf tulang belakang. Bagian ini mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
Definisi dari kematian sendiri, yang telah disepakati dalam ilmu kedokteran adalah ketidakadaan sinyal listrik pada otak. Menurut Sony, orang yang mati suri kemungkinan masih memiliki medulla oblongata yang berfungsi walaupun anggota tubuh lain tidak. Jika kepala manusia diputus, koordinasi antara otak dan organ-organ tubuh lain pun ikut putus. Otak pun tak bisa lama sendiri hidup karena otak memerlukan suplai oksigen melalui darah dari jantung. Jika jantung turut berhenti berdenyut, maka lama kelamaan otak akan kekurangan oksigen dan mati.
Beberapa hewan memiliki keunggulan tertentu. Keunggulan tersebut adalah ketika hewan tersebut dipotong kepalanya, seluruh anggota tubuhnya masih tetap hidup dalam waktu yang lebih lama dibanding manusia. Contohnya entog. Jika entog disembelih dan sayapnya tidak ditali, akan sangat memungkinkan bahwa ia akan terbang tanpa kepala walaupun lama-lama kelak akan mati. Mereka memiliki ganglion-ganglion yang saling berikatan satu sama lain. Ganglion dapat mengendalikan organ-organ tubuh bagian bawah tanpa bantuan kepala hewan tersebut.  Jadi, Sony menyimpulkan, tali kematian hewan-hewan tersebut mungkin terletak pada ganglion.
Walaupun Sony cenderung menyimpulkan bahwa “ubun-ubun” alias tali kematian manusia terletak pada medulla oblongata, sebenarnya terdapat fenomena kematian lain yang bukan disebabkan oleh non-fungsi dari otak. Terdapat penyebab lain yang dapat mengakibatkan manusia mati. Misalnya, ginjalnya rusak atau paru-parunya tidak berfungsi lagi. Sony kemudian mengambil contoh kasus wafatnya Menteri Kesehatan beberapa waktu yang lalu, Endang Rahayu. Baik jantung, ginjal, serta otak dari Endang masih bisa berfungsi. Endang bahkan sempat membuat email beberapa saat sebelum kematiannya. Paru-parunya lah yang tidak berfungsi sedemikian mestinya.
Hal tersebut menunjukkan betapa kuasanya Allah mencabut nyawa kita dengan beragam rupa. Yang jelas, Sony berpendapat “ubun-ubun” merupakan tali nyawa kita dengan Allah. Namun, Allah lebih berkuasa atas penentuan nasib kita. Apakah Allah akan mencabut nyawa kita dengan mematikan fungsi otak, fungsi jantung, atau fungsi ginjal—semuanya terserah padaNya.
Bukan Satu Organ Tubuh
Diskusi tafsir ilmiah ini kemudian menyimpulkan,  nasiyah (“ubun-ubun”) fungsinya mirip dengan qalbu. Qalbu (sering diterjemahkan sebagai “hati”) bukan satu organ tubuh yang bekerja sama satu sama lain sehingga manusia bisa merasakan sesuatu. Qalbu dalam konteks alquranan bukanlah jantung (heart) ataupun hati (liver), namun suatu sistem perasaan.
Begitu pun dengan “ubun-ubun” yang melibatkan seluruh organ tubuh. Orang lain bisa saja memegang kepala Anda, tetapi ia tidak bisa memegang tali kematian Anda. Hal ini karena ia tidak tahu letak tali kematian Anda. Bisa saja Allah tarik tali kematian manusia lewat jantung yang berhenti berdetak. Sehingga, perdebatan mengenai posisi “ubun-ubun” seharusnya tidak perlu kian berlarut. Tuhan dapat mematikan kita dengan cara apapun.
Sony berpendapat, pelajaran yang dapat kita ambil setelah menelaah ayat mengenai “ubun-ubun” adalah sadar apabila hidup kita selalu diawasi Tuhan. Allah dapat menarik “ubun-ubun” Anda kapan saja. Anda tidak memiliki waktu untuk mengelak. Sepatutnya, kita dapat mengambil pelajaran dari QS. Al-Mu’minuun ayat 99-100. Dalam dua ayat tersebut, kaum musyrikin yang sudah dihisab amal perbuatannya meminta agar dikembalikan kembali ke dunia. Tujuannya, tentu untuk berbuat saleh setelah dikembalikan ke dunia. Namun, Allah tidak memberi kesempatan macam itu.
“Anda tidak dapat menerka berapa lama Anda hidup di muka bumi ini. Jadi berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Asal diimbangi dengan kecerdikan sehingga Anda tidak mudah ditipu orang,” pungkas Sony.***
Posted: 11 Jun 2012 11:47 PM PDT
Tafsir Al-’Alaq (1): Menerka Tali Kematian from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami

Tuesday, May 8, 2012

Tafsir Al-Ghaasyiyah: Menalari Unta*



(Foto: http://animals.nationalgeographic.com)
Menalari unta bisa jadi akan menyelamatkan Anda dari neraka. Sebab, unta, langit, gunung, dan Bumi adalah sebagian dari ayat-ayat yang diperintahkan-Nya untuk direnungi. Penalaran tentang unta dapat bermula ketika Anda mengkaji makna Surat Al-Ghaasyiyah.

Warga Neraka Makan Kaktus?
Surat Al-Ghaasyiyah merupakan ayat-ayat Makkiyah (diwahyukan di Makkah sebelum hijrah). Bahkan menurut Mohammed Marmaduke Pickthall, surat ini tergolong an early Meccan Surah. Surat Al-Ghaasyiyah, bersama-sama Surat Al-A`la, sering sekali dibaca Rasulullah Saw. pada shalat Jumat.
Surat ini dibuka dengan ayat (1) Hal ataaka ?adiitsu l-ghaasyiyah “Sudahkah sampai kepadamu berita yang menyelubungi?” Terdapat penafsiran bahwaal-ghaasyiyah (sesuatu yang menyelubungi) adalah Hari Kiamat. Sebab hari itu bersifat misterius, terselubung, dan hanya Allah yang mengetahui kapan terjadinya.
Namun, pada umumnya mufassir tidak langsung menafsirkan al-ghaasyiyah sebagai Hari Kiamat. Arti harfiah yang sering dirujuk untuk kata tersebut adalah “pembalasan”. Namun karena yang dimaksud adalah pembalasan atas segala amal perbuatan manusia, maka artinya tetap dinisbatkan kepada Hari Kiamat.
Pada surat Ali Imran ayat 106, Allah berfirman: Yauma tabyadhdhu wujuuhun wa taswaddu wujuuh (“Pada hari itu ada wajah-wajah putih berseri dan ada pula wajah-wajah hitam muram”). Keadaan dua golongan manusia ini kemudian diperinci dalam 15 ayat berikutnya pada Surat Al-Ghaasyiyah.
(2) Wujuuhun yaumaïdzin khaasyi`ah “Wajah-wajah hari itu tunduk menekur,” (3) `Aamilatun naashibah “bekerja, letih,” (4) Tashlaa naaran ?aamiyah “memasuki neraka yang menyala,” (5) Tusqaa min `ainin aaniyah “diberi minum dari mata air mendidih,  (6) Laisa lahum tha`aamun illaa min dharii` “tiada bagi mereka makanan kecuali dari kayu berduri,” (7) Laa yusminu wa laa yughnii min juu` “yang tidak memuaskan dan tidak mengenyangkan dari lapar.”
(8) Wujuuhun yaumaïdzin naa`imah “Wajah-wajah hari itu berseri-seri,” (9) Li sa`yihaa raadhiyah “karena usahanya merasa senang,” (10) Fii jannatin `aaliyah “dalam surga yang tinggi,” (11) Laa tasma`u fiihaa laaghiyah “tidak terdengar di sana omong kosong.” (12) Fiihaa `ainun jaariyah “Di sana mata air mengalir.” (13) Fiihaa sururun marfuu`ah “Di sana singgasana ditinggikan,” (14) Wa akwaabun maudhuu`ah “dan gelas-gelas disediakan,” (15) Wa namaariqu mashfuufah “dan bantal-bantal tersusun,” (16) Wa zaraabiyyu mabtsuutsah “dan permadani terhampar.”
Ayat 2-7 memerinci kenestapaan orang-orang yang mengingkari kebenaran Islam. Sementara ayat 8-16 memerinci kebahagiaan orang-orang yang menerima kebenaran Islam.
Pada ayat (5), terdapat koreksi bahwa Tusqaa itu bukan diminumkan, lebih tepat disiramkan. Adapun kata “min” setelahnya, menunjukkan pengkhususan. Artinya, penghuni neraka tidak disiram selain dari mata air mendidih tersebut. Sementara makanan penghuni neraka dalam ayat (6), yaitu ‘kayu yang berduri’ ditafsirkan sebagai kaktus. Kaktus adalah tanaman yang paling mendekati gambaran “kayu berduri tersebut”.

Menalar Bekal Beriman
Ayat (17) menyatakan: Afalaa yanzhuruuna ilaa l-ibili kaifa khuliqat “Maka tidakkah mereka menalari kepada unta bagaimana diciptakan?” Kemudian disusul ayat-ayat berikutnya: (18) Wa ilaa s-samaaï kaifa rufi`at “dan kepada langit bagaimana ditinggikan?” (19) Wa ilaa l-jibaali kaifa nushibat “dan kepada gunung-gunung bagaimana ditegakkan?” (20) Wa ilaa l-ardhi kaifa suthi?at “dan kepada Bumi bagaimana dihamparkan?”
Kata ‘yanzhuruun’ merupakan derivasi dari ‘nazhar’ yang diindonesiakan menjadi ‘nalar’. Oleh karena itu, terjemahan yang tepat untuk ‘yanzhuruun’ menurutnya adalah ‘mereka menalari’. Pada ayat 17-20, Allah memerintahkan manusia untuk menalari (meneliti, bukan sekadar memperhatikan) penciptaan unta, pembentukan langit, pemancangan gunung-gunung, dan penghamparan Bumi. Secara bahasa kontemporer, Allah memerintahkan kita untuk mengembangkan biologi, astronomi, vulkanologi, dan geologi.
Kata ‘nazhar’ dalam ilmu balaghah sebenarnya punya dua makna. Pertama, nazhaara ila yang berarti melihat biasa, bukan meneliti. Kedua, nazhaara secara fiqh yang berarti pemikiran atau dugaan yang menghasilkan suatu pengetahuan. Makna terakhir inilah yang cocok dengan penafsiran di atas.
Kata ‘khuliqat’ adalah bentuk fi’il madhi (kata kerja pasif) dari kata khalaqa. Khalaqa berarti menciptakan sesuatu di luar kelaziman tapi dalam batas yang bisa dikaji secara ilmiah oleh manusia. Atau bisa juga berarti Allah pencipta segala sesuatu.
Ayat (17) pun dapat ditafsir dari sudut pandang Biologi. Sebenarnya, unta belum diketahui proses evolusinya, bukti-bukti perkembangan fosilnya belum sepenuhnya terungkap. Fosil unta tertua dan terbesar ditemukan di Syria. Ukurannya kira-kira dua kali lipat unta saat ini. Kemungkinan besar, unta berkerabat dengan hewan llama di Amerika Selatan, yak di daerah Asia Tengah dan jerapah di Afrika.
Unta sepertinya memang diciptakan khusus untuk daerah berpadang pasir. Kapasitas air di punuknya mencapai 40 liter. Bentuk kakinya pun cocok untuk berpijak di padang pasir tanpa tenggelam. Telapak kakinya agak melebar sedikit ke sisi.
Namun, terdapat terjemahan ibil yang berbeda. Ada yang mengartikan ibil sebagai awan, bukan unta. Dasarnya, dalam kamus Lisanul Arab, ibil juga berarti awan yang mengandung air. Alasan lain, ayat-ayat setelah kata ibil berbicara soal langit, gunung dan bumi. Jika diterjemahkan sebagai awan, maka keseluruhan ayat 17-20 akan lebih menyatu.
Mengenai penciptaan langit dalam ayat (18), terdapat penafsiran bahwa makna “langit yang ditinggikan” adalah pembentukan atmosfer yang bertahap dan berlapis. Lapisan terbawah adalah troposfer yang mengandung oksigen untuk makhluk hidup. Lapisan teratas adalah ionosfer yang mengandung ozon untuk melindungi Bumi dari sengatan sinar Matahari dan benda-benda asing. Lapisan terakhir ini juga memantulkan gelombang radio untuk komunikasi jarak jauh.
Atmosfer Bumi adalah salah satu ciptaan Allah yang betul-betul disiapkan, punya manfaat, tidak sia-sia. Sedangkan kondisi atmosfer planet Mars dan Venus tidak begitu ramah. Atmosfer Mars terlalu tipis sehingga sinar-sinar berbahaya dari Matahari leluasa masuk, menguapkan air dan membunuh kehidupan. Venus sebaliknya. Atmosfernya terlalu tebal karena tingginya CO2. Akibatnya, efek rumah kaca juga menguapkan air di permukaan Venus.
Makna samaa’ atau langit menurut Moedji secara astronomi adalah “batas pandangan”. Batas ini tentunya berkembang seiring kemampuan teknologi manusia. Makin besar teleskop, semakin jauh kita dapat melihat objek-objek yang jauh. Informasi yang terlihat oleh teleskop dibawa oleh cahaya. Semakin jauh kita melihat, berarti semakin mampu kita melihat objek-objek langit yang tercipta lebih awal.
Selepas penciptaan langit, giliran penciptaan gunung dan Bumi yang dibahas pada ayat berikutnya. Terdapat penuturan singkat mengenai sekelumit proses terjadinya gunung berapi maupun jenis gunung lainnya. Sedangkan proses tektonik lempeng yang sebelumnya telah dibahas pula dalam diskusi Surat Az-Zalzalah. Fungsi gunung sendiri adalah sebagai pasak berkat akar massanya di bawah permukaan. Ukuran akar massa tersebut dapat mencapai 2-3 kali tinggi gunung di permukaan.


Beriman adalah Pilihan
Ayat (21) Surat Al-Ghaasyiyah berbunyi Fa dzakkir innamaa anta mudzakkir “Maka berilah peringatan! Sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.” Kemudian dilanjutkan ayat (22): Lasta `alaihim bi mushaithir “Bukanlah engkau atas mereka pemaksa.”
Tugas umat Islam hanyalah berdakwah, memberikan peringatan bagi yang tidak mau beriman. Jika mereka ngotot tidak mau juga menerima Islam, maka Allah akan menangani mereka sebagaimana dijelaskan dalam empat ayat terakhir Surat Al-Ghaasyiyah:
(23) Illaa man tawallaa wa kafar “Kecuali orang yang berpaling dan ingkar, (24) Fa yu`adzdzibuhu l-laahu l-`adzaaba l-akbar “maka Allah menyiksanya dengan siksa yang besar.” (25) Inna ilainaa iyaabahum “Sesungguhnya kepada Kami tempat kembali mereka,” (26) Tsumma inna `alainaa ?isaabahum “kemudian sesungguhnya urusan Kami perhitungan mereka!”.
Wallahu a’lam bis showab.


*Dikutip dari Diskusi Tafsir Salman , Senin (14/2/2011) di Rumah Alumni Salman. Menghadirkan Dr. Sony Heru Sumarsono dan Dr. Moedji Raharto sebagai penanggap dari aspek sains. Turut hadir pula, Ustadz Aceng dari Divisi Pelayanan Dakwah Salman ITB untuk mengupas aspek bahasa surat tersebut. Makalah utama yang ditulis oleh Irfan Anshory menjadi bahan kupasan saat itu. 
Tafsir Al-Ghaasyiyah: Menalari Unta* from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons